Disclaimer: I do not own
Inuyasha, Inuyasha belongs to Rumiko Takahashi-sensei!
~Flashback~
Suara kicau burung bersahut-sahutan, desir angin membelai rambutnya yang hitam. Disana dia berbaring di padang rumput favoritnya menatap birunya langit, Kagome kecil berumur 12 tahun dikelilingi oleh ratusan bunga yang sedang bermekaran. Walaupun terkadang bau bunga yang terlalu manis untuknya seakan menggelitik hidungnya membuatnya seperti ingin bersin. Bunga-bunga liar yang ia kumpulkan kali ini lebih cantik daripada biasanya, bunga kuning dengan putik merah ditengahnya dan belasan kuntum bunga melati putih kecil yang sedang banyak bermekaran dia masukan ke dalam lengan bajunya. Kagome akan menyelipkannya di antara bajunya nanti, agar baunya sedikit menyerupai ibunya, bau harum ibunya mirip seperti melati di hidungnya.
Dia berjalan ke arah rumahnya, kemudian setengah berlari. Sesekali melompat dengan riang, siulannya mengikuti kicau burung di kejauhan. Matahari berada hampir tepat di atas kepalanya saat ia mencapai kebun di depan rumahnya yang ditanami berbagai macam sayur oleh ibunya, dia tahu dia telah terlambat pulang untuk makan siang karena terlalu asyik memetik bunga. Tetapi dia tahu ibunya tidak akan marah kepadanya, karena ibunya tidak pernah marah kepadanya, tidak sekalipun. Sepintas keheranan berkelebat di kepalanya saat ibunya tidak seperti biasanya berada di ambang pondok dengan kekhawatiran yang terpancar jelas dari raut wajahnya, tapi dia usir kekhawatiran itu.
“Ibu...” panggilnya ceria, bersiap-siap menanti kejutan atau terkaman dari ibunya yang menanti di balik dinding kamar untuk menerkamnya lalu menggelitiknya hingga dia menyerah dan berjanji untuk tidak pulang terlambat untuk makan siang lagi.
Telinga anjing di puncak kepalanya yang berwarna senada dengan rambutnya berdiri tegak mencoba menangkap suara sekecil apapun. Beberapa saat berlalu, hanya keheninganlah yang menyambutnya. Tidak ada jawaban dari ibunya, tidak ada suara selain rintihan kecil, pelan, dan terlalu lemah untuk ditangkap oleh telinga manusia.
“Ibu” dengan panik Kagome memanggil ibunya kembali sambil berlari secepat kilat menerobos kamar kecil yang mereka tempati.
Tangannya yang kecil mungil itu bergetar saat pertama kali menemukan ibunya tergeletak di kamar berlumuran darah, kimononya terkoyak-koyak sedemikian rupa. Darah mengalir deras dari lima lubang yang kini menghiasi lehernya, lubang yang ditimbulkan oleh cakar panjang dan dalam yang dengan sengaja ditusukkan kelehernya. Sisa-sisa air mata membasahi pipinya, nafasnya tersengal-sengal. Ibunya berjuang sekuat tenaga untuk tetap bisa menjejalkan udara ke paru-parunya, mulutnya membuka seakan ingin mengucapkan sesuatu. Tak ada air mata yang mengalir dari Kagome, ia menggenggam tangan ibunya yang tidak lagi hangat seperti biasanya, tangan ibunya itu dia letakkan di pipinya.
Tangannya mulai dingin, kehidupan mulai meninggalkannya perlahan, sunyi dan menyakitkan. Wajahnya yang pucat ternodai oleh luka-luka seperti cakar, bulir-bulir keringat menuruni dahinya lalu bersemayam dirambut hitamnya yang tebal indah. Dada Kagome seperti dimasukkan oleh batu sebesar kepala manusia, sakit yang ia rasakan begitu menghujamnya. Melihat ibunya sekarat, satu-satunya harta di dunia ini akan pergi meninggalkannya bersama kehidupan yang kejam.
Nafasnya terengah-engah, hanya satu kata yang keluar darinya “ibu...” rintihnya, ibunya berusaha tersenyum dengan susah payah berusaha menenangkan putri kecil yang dicintainya. Walaupun hati ibunya menangis, pemandangan apalagi yang lebih menyedihkan bila dibandingkan dengan melihat putri kecil yang dimiliki harus melihatnya sekarat? Dia akan pergi meninggalkan dunia ini dengan tersiksa, memikirkan sang putri yang tercinta akan sebatang kara, di dunia dimana para youkai dan manusia membencinya.
“Kago..” dia terbatuk-batuk dan lebih banyak lagi darah yang keluar dari lubang di lehernya, Kagome membelai pipi ibunya.
Ada bunyi suara seperti siulan setiap kali ibunya mencoba menarik nafas, “Kagome kumohon..” suaranya terbata-bata, penuh perjuangan untuk mengeluarkan kata-kata dari mulutnya.
Mata Kagome mulai terasa perih, “ibu..” dia memohon “Ibu...” suaranya bergetar.
“Tetap.. hi..dup.. ba..ha..gia... Aku menyayangimu” itu adalah kata terakhirnya saat matanya terpejam waktunya telah habis di dunia ini, waktunya yang teramat singkat bersamanya.
“Ibu” panggilnya lalu tangisnya meledak, air mata mengucur deras meninggalkan matanya. Dia memeluk erat-erat mayat ibunya, mengguncangkannya oleh tangisannya yang tak terdengar oleh siapapun.
“Ibu, kumohon ibu... jangan tinggalkan aku... “ Kagome menarik diri untuk bisa menatap wajah ibunya, dia membelai wajah ibunya. “Ibu...” dia mengusap darah yang menghiasi wajah ibunya, darah itu mulai mengental dan mengering di beberapa tempat.
Air matanya mengalir deras, dia memandang wajah pucat itu. Wajah ibunya yang tak bernyawa, dia mencium pipi ibunya yang dingin. “Ibuuu..” suaranya pecah. “Ibu..” hanya itu yang bisa keluar dari mulutnya, walau banyak kata yang ingin dia teriakkan.
Bagaimana aku hidup tanpamu ibu, hanya kaulah yang menyayangiku ibu. Mengapa kau pergi secepat ini ibu. Mengapa kau tidak membawaku bersamamu? Aku ingin selalu bersamamu ibu. Aku sangat menyayangimu ibu, bagaimana mungkin kau memintaku untuk tetap hidup bila engkau, nafasku telah diambil dariku? Bagaimana mungkin kau memnintaku bahagia bila kebahagiaanku adalah dirimu bu.. Mengapa kau jahat kepadaku bu, kau meninggalkanku. Aku membencimu bu... aku sangat membencimu bu...
“IBUUU..” Kagome berteriak “Bangun ibu! Bangun bu!” dia roboh, tidak mampu lagi menahan berat tubuhnya “Aku mohon... aku mohon....” dia terisak, “Aku mohon...” sulit baginya untuk menarik nafas, dia tercekat, oleh tangisnya yang tidak mereda.
Kagome tertelungkup dia memeluk ibunya yang sudah tidak bernyawa, kepalanya di atas dada ibunya. Hatinya semakin teremas sakit tatkala dia menantikan irama detak jantung yang dulu selalu menjadi lagu pengantar tidurnya. Dia tidak bisa lagi merasakan kehangatan pelukan yang ibunya berikan, tidak ada lagi senyum untuknya dari orang yang melahirkannya di dunia ini. Dia mengangkat kepala, mata ibunya masih terbuka, namun mata itu kosong, tidak ada secercah kehidupan yang terpancar. Kagome mengangkat tangannya yang gemetaran, dengan lembut dia menutup kedua mata ibunya. Tangisannya pun kembali meledak, tubuhnya kembali berguncang oleh kesedihan. Setelah lelah menangis dia masih terbujur kaku memeluk mayat ibunya, tidak ada tenaga yang bersemayam di tubuhnya. Tidak ada semangat hidup yang tersisa di dirinya.
Entah berapa lama dia memeluk ibunya, mayat ibunya. Saat ia mampu kembali bergerak ia hendak menutupi tubuh ibunya dengan selimut, saat itulah dia mendapati tubuh ibunya penuh dengan luka sayatan dan lebam. Dia terkejut saat mengetahui luka fatal yang dimiliki ibunya tidak hanya di lehernya tetapi di banyak tempat yang fatal. Darah menggenang di sekitarnya membuat Kagome tidak tahan untuk tidak memalingkan wajah, dia tidak inginmelihat luka-luka itu, dia tidak ingin membayangkan rasa sakit yang dirasakan oleh ibunya. Dia meringis, menahan diri untuk tidak menangis lagi, dia memejamkan mata menarik nafas panjang hingga dia akhirnya bisa menenangkan dirinya.
Dia beranjak keluar dari rumahnya yang kecil di tengah-tengah hutan jauh dari pemukiman manusia yang membencinya tetapi cukup aman dari youkai yang sering memburunya, dia berjalan dengan tertatih-tatih mencari tempat yang baik untuk menggubur ibunya. Mengubur ibunya, kata-kata itu seakan menusuk-nusuk hatinya. Amarah membara di dalam dirinya dia berjalan cepat jauh ke dalam hutan semakin cepat dan dia berlari dengan kecepatan yang tidak manusiawi. Kedua tangannya terentang, dengan cakarnya menebas dahan-dahan yang ia lewati, mengapa tidak ada youkai yang memburunya disaat aku ingin sekali mati? Pikirnya.
Dia terhenti di tepi sebuah sungai, dadanya turun naik tujuan cakarnya kali ini adalah batu besar di tepi sungai yang lebih besar dari tubuhnya. Dia mengayunkan tangannya sekuat tenaga berusaha mencabik-cabik batu yang tak berdosa itu, batu itu kuat, tidak mudah hancur. Kagome tidak berhenti menyakiti dirinya untuk waktu yang lama, tidak ada rasa sakit sama sekali yang ia rasakan walaupun darah mulai mengalir deras dari tangannya, tetapi dia tidak berhenti sampai batu itu hancur menjadi kerikil. Andai saja dengan rasa sakit dari luka yang ditangannya bisa menghilangkan rasa sakit di hatinya.
Dia jatuh terjerembab di tepi sungai, kimononya basah air menjilat-jilat lukanya di tangannya. Dia ingin sekali menangis tetapi kali ini tidak bisa, dia tertunduk memandang refleksi dirinya di sungai. Mata birunya terselimuti oleh takut, marah, sedih, putus asa, dan dendam. Telinga di puncak kepalanya tertunduk sedih, dia menatap tangannya yang bercakar lalu mencelupkan tangannya ke sungai. Dinginnya air menyejukkan hanya tangannya tetapi tidak dengan jiwanya, dia mengangkat tangannya lagi dan melihat luka-lukanya dengan amat sangat perlahan tetapi pasti mulai mengering kemudian menutup sempurna tidak ada bekas sama sekali. Dia ingin sekali mati, dia tidak mempunyai siapa-siapa lagi di dunia ini.
Tetapi dia teringat pesan ibunya, lalu dia teringat wajah ibunya di detik-detik terakhir nafas masih bersemayam di dadanya pesannya untuk bahagia untuk tetap hidup. Hal yang tidak mungkin, bagaimana mungkin dia bisa hidup bahagia bila ingatan terakhir tentang ibunya adalah akhir hidupnya yang tersiksa meninggalkan dunia ini karena dibunuh dengan perlahan dan menyakitkan? Membiarkan ibunya merasakan sakit di sekujur tubuhnya oleh luka yang terus mengalirkan darah, membiarkan dia tidak bisa bernafas, tenggelam karena darahnya sendiri yang memenuhi paru-parunya. Lagi-lagi ingatannya itu menyiksanya, amarah dendan kini bersemayam di dadanya.
Matanya memandang pantulannya di sungai tetapi pandangannya menerawang, tangannya terkepal erat membuat cakarnya menghujam kulitnya dan menembus daging di telapak tangannya. Tanpa sadar darah mengalir deras dari tangannya lalu menetes ke sungai. Darah yang menodai air sungai tempat ia memandang refleksinya membuat ia tersadar dari lamunannya, menatap tangannya yang berdarah membuatnya tersadar akan kekuatannya. Ya, dia mempunyai kekuatan. Dia memiliki tujuan hidup baru saat ini, dia akan menuntut balasan bagi siapapun dia yang telah membunuh ibunya dengan kejam. Dia harus menuntut balas, apapun yang akan terjadi walaupun nyawanya sebagai taruhannya.
Dulu dia selalu takut untuk melihat refleksi dirinya di sungai, karena yang dia lihat hanyalah monster. Dia ingin seperti ibunya manusia yang lembut, berparas cantik, dan bersikap lembut. Tetapi dia sekarang bersyukur untuk kekuatan yang dia punya, bisa dia gunakan untuk menuntut balas untuk ibunya. Bukanlah salahnya bila dia adalah seorang hanyou, bukanlah salahnya bila ibunya yang seorang miko jatuh cinta kepada seorang youkai. Semua itu adalah salah manusia yang mengusir dia dan ibunya dari desa, semua itu salah para youkai yang tidak bisa menerimanya dan menganggapnya sebagai sesuatu yang sangat dibenci. Bagi mereka Kagome si hanyou hanyalah suatu penyimpangan.
Dia bangkit, berlari lagi menuju rumahnya, untuk memberikan ibunya penghormatan terakhir.
Dia berhenti sesaat di depan pondok yang ia tinggali bersama dengan ibunya tercinta, tidak ada lagi senyum hangat yang ia berikan untuknya di ambang pintu setiap saat dia pulang bermain. Ia bisa membayangkan ibunya berada di ambang pondok dengan senyum cerah menghiasi wajahnya melihatnya mengumpulkan bunga-bunga yang tumbuh liar di hutan membuat mahkota lalu memasangnya di kepala ibunya. Bau harum ibunya yang seperti bunga jasmine dan teh akan dirindukannya, sama rindunya dia dengan sup hangat buatannya. Dia menelan ludah sebelum melangkahkan kaki, mencoba menekan emosinya dan membiarkan logikanyalah yang berjalan. Dia tidak akan melupakan keputusannya yang sudah bulat, dia akan mewujudkannya entah apapun yang akan terjadi. Pertama-tama dia harus menemukan petunjuk, sekecil apapun itu.
Dia meringis setiap kali matanya menelusuri sekian banyak luka di tubuh ibunya, luka sayatan, cakar, gigitan, hingga luka merah yang ia tahu akan menjadi luka memar yang membiru beberapa hari kemudian itupun jka dia masih hidup.
Matanya
menyelidik, menelusuri ruangan yang kacau balau karena perlawanan terakhirnya.
Kedua sudut bibirnya sedikit terangkat, bangga dengan ibunya yang tidak akan
pernah mudah menyerah dan begitupun dia pikirnya. Dia tidak akan mudah menyerah
walaupun tidak ada petunjuk apapun yang bisa dilihatnya dari ruangan itu,
tetapi ada petunjuk tentang baunya. Samar-samar dia masih bisa mencium bau
bajingan itu tetapi baunya itu tercemar dengan bau darah yang menyeruak menusuk
hidungnya
Dia mengambil secarik kain kecil dari rak kayu sederhana yang mereka jadikan tempat menyimpan baju, lalu dia mengambil baskom kecil berisi air bersih. Kain bersih dia gelar di ruang depan disamping perapian bersandingan dengan kain kecil dan baskom yang telah lebih dulu ia siapkan. Dengan susah payah dia menggendong ibunya dari kamar ke tempat yang ia siapkan, secara perlahan dan hati-hati dia membasuh wajah ibunya dengan kain kecil yang dibasahi air. Mendung menggantung di wajahnya, kedua alisnya semakin berkerut di tengah setiap saat kain itu menyentuh luka-luka itu. Dia menepuk-nepuk kain itu dengan amat sangat lembut seakan-akan tidak ingin menyakiti mayat ibunya yang lebih jauh lagi, luka sayat panjang dan dalam menganga secara vertikal dari dada hingga pusar. Dia mengelap lengan, lalu tangan ibunya bergantian kanan lalu kiri, nafasnya tercekat sesaat dia menyadari sesuatu di tangan kiri ibunya yang tergenggam sangat erat.
Terdapat beberapa helai rambut silver yang sangat halus dan panjang, seperti rambut milik ayahnya. Apakah rambut itu milik ayahnya? Apakah ayahnya yang telah membunuh ibunya? Mau tidak mau itulah satu-satunya petunjuk si bajingan yang akan mati di tangannya, kematian dengan amat sangat pelan dan menyakitkan. Dia janjikan itu dan akan dia tepati, suatu saat nanti.Dengan segera dia menaruh rambut itu di secarik kain kecil melipatnya lalu menyimpannya di lengan kimononya, inilah yang dicarinya sepotong kecil bukti bajingan yang akan diburunya walau hingga ke ujung dunia.
Dia menyelipkan tangan kirinya di bawah leher ibunya dan tangan kanannya mengangkat tubuh bagian bawahnya. Dengan susah payah dia berdiri, berjalan dengan tertatih-tatih berusaha sebisa mungkin untuk tidak jatuh terjerembab. Tangannya yang kecil dengan darah mengalir itu mengangkat ibunya, menggendongnya dengan hati-hati. Tangannya terluka lagi karena menggali lubang kuburan hanya dengan tangan kosong, tapi tidak ada sakit yang dia rasakan sama sekali bersumber dari luka di tangannya. Setidaknya luka hatinya itu sedikit berkurang saat dia melihat wajahnya yang tenang, sudah tidak ada lagi cairan merah kental mengalir yang menghiasi tubuh dan wajahnya. Kagome sudah memakaikan kimono miko ibunyanya sebagai penghormatan, rambutnya sudah tersisir rapi
Dia meletakan ibunya dengan hati-hati di lubang kubur, tubuhnya sudah tertutup tanah dari batas leher kebawah. Dia memberikan ibunya kecupan terakhir di dahinya sebelum menutupinya dengan tanah, air matanya mengalir. Senyum kecil menghiasi wajahnya, setidaknya tidak ada lagi kesedihan, kesusahan, dan rasa sakit yang ibunya rasakan lagi. Hanya akan ada kedamaian disana untuknya di tempat yang terindah lebih indah dari tempat manapun di dunia ini.
“Aku sangat menyayangimu bu” dia meletakkan bunga yang telah dia petik pagi tadi, diatas gundukan tanah yang baru itu lalu dia menempelkan kertas sutra di batu nisan ibunya untuk mencegah tidak ada youkai yang memakan jasad ibunya yang tercinta.
“Tunggu aku disana ibu” bisiknya perlahan dengan suara pecah dan bergetar.
Api menjilat-jilat pondok kecilnya, harta paling berharga miliknya di dunia ini sudah dia kubur di bawah pohon besar yang telah hidup berabad-abad yang lalu dan akan terus hidup berabad-abad kemudian, harta itu adalah ibunya. Sebuah cangkang kerang kecil yang berisi gincu, benda kesayangan ibunya dibawa oleh Kagome. Dia tidak akan bisa menempati tempat yang akan selalu menghantuinya dengan bayangan kematian ibunya yang sedang sekarat karena kebengisan musuhnya, dia hanya ingin mengingat ibunya yang hangat dan ceria di masa-masa indah mereka, walau itu susah.
-----*****------